インドネシア現地ニュース紹介ブログ

インドネシアの様々なニュース記事などを紹介するブログです。よろしくお願いいたします。

スハルト大統領の辞任から今週で20年

nasional.kompas.com

 実は、今週、5月21(月曜)は、かのスハルト大統領が退いてから満20年という節目を迎えました。現地の各メディアでも、そのことについては大々的に取り上げており、当時の政変を振り返る様々なニュースやコラムがリリースされました。

 

 ご存じのこととは思うのですが、アジアの通貨危機を発端にした通貨暴落により、インドネシア経済は大打撃をうけました。スハルト政権としても、明確な打開策を見いだせず、さらに、従来からからスハルト体制への不満がつもっており、国民の不満・不安が爆発。インドネシアは政変期に突入します。

 

 インドネシア各地で打倒スハルトを掲げるデモンストレーションが発生しました。
スハルト大統領は政権末期、自らの一族企業等を優遇するなどの縁故体質がかなり目立ってきており、国民からも強い不信感をもたれておりました。)

特に、エネルギーのある若者、学生が先頭に立ってデモンストレーションを繰り広げる中、治安警察との武力衝突により多くの学生が死傷しました。
(なんだか安保闘争のような様相ですが、学生のパワーはいつも強烈です。)

治安警察の実弾発砲を含む武力鎮圧をもってしても、学生達の「打倒スハルト」のパワーを押さえ込むことができず、スハルトも次第に追い詰められていきました。

 

 しかし、スハルト自身もそのまま引き下がるつもりはなく、「改革委員会の設立」、「内閣改造」、「総選挙の実施」などをおこなって世論にアピールしようとしましたが、結局はそれも実現せず、最後には、スハルト自身も政権の側近達からも見捨てられ、1998年5月21日に辞意を表明しました。
(こういった動きはスハルトが政権を持ち続けるための「時間稼ぎ」と思われていたと、記事の中でも書かれています)


 スハルト辞任から数年間は、大統領がたてつづけに3人交代する、憲法が4回も改正されるなど、政治的な混乱が続きました。

 

 また、もともとインドネシアは様々な民族・文化・言語が寄せ集まった国家であり、スハルトという強権体制の崩壊とともに、国家体を維持できるのか、という懸念もありました。

 また、バリの爆発テロや、ジャカルタのマリオットホテルでの爆発テロなども数年に一度発生し、そのたびに国際社会から絶妙に距離をとられ、憂き目もみてきました。

しかしながら、そういった動乱の中でも、インドネシアは概ね安定を取り戻し、ユドヨノ政権は二期、またそれに続きジョコウィドド政権に移行して成長をつづけております。

 

私は、友人の一人にインタビューというか、話を聞いてみたのですが、その中で印象に残っていたのは、「スハルト時代が×で、民主化以降は○という単純な構造ではない」つまり、スハルト政権時代の方がよかった点も沢山あったんだ、という率直な言葉でした。

 

あとは、こちらは余談ですが、スハルト大統領があんなにも完璧にスカルノ大統領から政権を奪取し、そこから32年間権力の座にいつづけたのは、当時のインドネシアスカルノ政権)が共産主義に傾倒し始めたことを危惧した米国政府が、密かにスハルトをバックアップしていたという、インドネシア内部でまことしやかに
流れ続ける「米国陰謀論」があるんですが、それを本当に信じている国民がけっこういる、というおもしろい内容でした。

 

さて、私は、政権末期の崩壊していく様を淡々と解説したニュースを読みましたので、シェアさせていただきます。記事が結構長かったのと、私程度の尼語力ではかなり辞書を引かない読解できなくて、当日中にアップする予定が二日も遅れてしまいました。よろしければ読んでみてください♪

nasional.kompas.com
(原文)

JAKARTA, KOMPAS.com — Hari ini tepat 20 tahun silam, 21 Mei 1998, tercatat sebagai salah satu momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebab, pada Kamis pagi itu, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Presiden Soeharto menyatakan mundur setelah berkuasa selama 32 tahun, terhitung sejak dia mendapat "mandat" Surat Perintah 11 Maret 1966. Pidato pengunduran diri Soeharto dibacakan di Istana Merdeka sekitar pukul 09.00 WIB. Dalam pidatonya, Soeharto mengakui bahwa langkah ini dia ambil setelah melihat "perkembangan situasi nasional" saat itu. Tuntutan rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang, terutama permintaan pergantian kepemimpinan nasional, menjadi alasan utama mundurnya Soeharto. "Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998," ujar Soeharto, dilansir dari buku Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) yang ditulis Bacharuddin Jusuf Habibie. Baca juga: Mencekamnya Jakarta pada Hari Terakhir Berkuasanya Soeharto... Dengan pengunduran diri ini, Soeharto menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada Wakil Presiden BJ Habibie. "Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof H BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003," ucap Soeharto. Perjuangan mahasiswa Gerakan reformasi merupakan penyebab utama yang menjatuhkan Soeharto dari kekuasaannya. Aksi demonstrasi ini mulai terjadi sejak Soeharto menyatakan bersedia untuk dipilih kembali sebagai presiden setelah Golkar memenangkan Pemilu 1997. Situasi politik saat itu memang penuh dinamika, terutama setelah terjadinya Peristiwa 27 Juli 1996 di kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Pemerintah dinilai menjadi penyebab terjadinya Peristiwa Sabtu Kelabu karena mencopot Megawati Soekarnoputri dari jabatan Ketua Umum PDI sehingga menimbulkan dualisme partai. Popularitas Megawati yang meroket ketika itu, juga statusnya sebagai anak Presiden Soekarno, memang menjadi ancaman bagi kekuasaan. Apalagi, Megawati menjadi pimpinan partai menjelang Pemilu 1997. Baca juga: Gerakan Perempuan dalam Pergolakan Reformasi 1998 Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR, menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Foto diambil pada 19 Mei 2008, dua hari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei 1998. Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR, menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Foto diambil pada 19 Mei 2008, dua hari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei 1998. (KOMPAS/EDDY HASBY) Tidak hanya itu, pasca-Peristiwa 27 Juli 1996, timbul serangkaian peristiwa hilangnya aktivis demokrasi dan mahasiswa yang dianggap melawan pemerintahan Soeharto. Sejak saat itu, perlawanan terhadap Soeharto semakin terlihat. Aksi mahasiswa yang semula dilakukan di dalam kampus, kemudian dilakukan di luar kampus pada Maret 1998. Mahasiswa semakin berani berdemonstrasi setelah Soeharto terpilih sebagai presiden untuk periode ketujuh dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998. Jika awalnya mahasiswa menuntut perbaikan ekonomi, setelah Soeharto terpilih tuntutan pun berubah menjadi pergantian kepemimpinan nasional. Sayangnya, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dalam mengatasi aksi mahasiswa mengubah aksi damai menjadi tragedi. Dilansir dari dokumentasi Kompas, aksi mahasiswa di Yogyakarta yang ditangani secara represif oleh aparat keamanan pada 8 Mei 1998 menyebabkan tewasnya Moses Gatutkaca. Mahasiswa Universitas Sanata Dharma itu meninggal akibat pukulan benda tumpul. Tragedi kembali terjadi saat aparat mengatasi demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas akibat ditembak peluru tajam milik aparat keamanan. Baca: 20 Tahun Tragedi Trisakti, Apa yang Terjadi pada 12 Mei 1998 Itu? Aksi penembakan peluru karet dan peluru tajam serta pemukulan oleh aparat keamanan juga menyebabkan lebih dari 200 orang terluka. Sehari kemudian, pada 13-15 Mei 1998, terjadi sebuah kerusuhan bernuansa rasial di Jakarta dan sejumlah kota besar. Hingga saat ini belum diketahui siapa yang bertanggung jawab atas Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 itu. Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR. Hegemoni Orde Baru yang kuat ternyata menjadi inspirasi bagi orangtua untuk memberi nama bagi anak-anak mereka. Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR. Hegemoni Orde Baru yang kuat ternyata menjadi inspirasi bagi orangtua untuk memberi nama bagi anak-anak mereka. (KOMPAS/EDDY HASBY) Akan tetapi, tragedi dan kerusuhan tidak menghentikan mahasiswa untuk terus bergerak. Pada 18 Mei 1998, aksi mahasiswa dalam jumlah akbar berhasil menguasai gedung DPR/MPR. Saat itulah, posisi Soeharto semakin terpojok. Sebab, pada hari itu juga pimpinan DPR/MPR yang diketuai Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden. Namun, Soeharto berusaha melakukan perlawanan. Salah satunya adalah dengan menawarkan pembentukan Komite Reformasi sebagai pemerintahan transisi hingga dilakukannya pemilu berikutnya. Soeharto pun menawarkan sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid untuk bergabung. Namun, sejumlah tokoh yang ditemui Soeharto pada 19 Mei 1998 itu menolak. Baca juga: 20 Tahun Reformasi, Kisah Mahasiswa Kuasai Gedung DPR pada 18 Mei 1998 Menurut Nurcholis, dilansir dari Kompas, ide Komite Reformasi itu sendiri berasal dari Presiden Soeharto. Nurcholis membantah bahwa ada tokoh yang mengusulkan itu saat bertemu Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Penolakan juga disampaikan sejumlah tokoh yang tidak menghadiri pertemuan. Ketua Umum PP Muhammadiyah PP Amien Rais misalnya, yang mempermasalah mengenai ketidakjelasan kapan pemilu itu akan dilakukan. Menurut Amien Rais dan sejumlah tokoh, Komite Reformasi merupakan cara Soeharto untuk mengulur waktu dan tetap berkuasa. Soeharto semakin terpukul setelah 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menolak bergabung dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle. Baca: Kisah Soeharto Ditolak 14 Menteri dan Isu Mundurnya Wapres Habibie... Bahkan, dalam pernyataan tertulis yang disusun di Gedung Bappenas pada 20 Mei 1998, 14 menteri itu secara implisit meminta Soeharto untuk mundur. Soeharto sadar posisinya semakin lemah. Kegalauan Jenderal yang Tersenyum itu mencapai puncaknya pada Rabu malam itu, 20 Mei 1998. Atas sejumlah pertimbangan, dia pun memutuskan untuk mundur esok harinya, 21 Mei 1998. Dan begitulah kisah Soeharto di akhir kekuasaannya.

(木村訳) 
 1998年5月21日、インドネシア国民にとって非常に重要な出来事から20年が経過する。この木曜日の朝、スハルトインドネシア共和国の大統領の職を辞することを表明した。スハルト大統領は、1966年3月11日にかの「命令書」をうけとった時点から、32年間権力を握り続けた。スハルトの退陣演説は、西インドネシア時間9時ごろからムルデカ(独立)宮殿にて読まれた。演説において、スハルトは、今のこの国の現状を見て、辞任を決意したと認めた。国民からはあらゆる分野での改革(レフォルマシ)要求の動きがあったが、特に国の指導者交代についての要求が強かったことがスハルト辞任の主な理由となった。
 バハルディン・ユスフ・ハビビの著書「歴史的瞬間~インドネシア民主化への長い道のり~(2006年)」の中では、スハルト大統領は、「本日1998年5月21日、この宣言をもって、私はインドネシア共和国大統領の職を辞することを決意した。」と述べたと記載されている。自身の辞職とともに、スハルトは自身の大統領の権限を副大統領であるバハルディン・ユスフ・ハビビに譲りわたした。
 「1945年憲法第八条に基づき、ハビビインドネシア副大統領は1998から2003年までの期間、国民協議会の権限をもつ。」とスハルトは述べた。

学生運動
 改革(レフォルマシ)運動は、スハルトを権力の座から降ろすことが主目的となった。1997年の選挙でゴルカル(スハルト所属の「職能団体」、実質的に政党だが、政党とは名乗っていない)が勝利し、スハルトが時期大統領に選ばれる準備ができていると表明して以降、デモが発生するようになった。
 特に、1996年に中央ジャカルタ・ディポネゴロ通りにあるインドネシア民主党中央執行部で起きた7月27日事件以降、情勢はダイナミックに動いた。メガワティ・スカルノプトリインドネシア民主党党首から引きずり下ろした後の「灰色の土曜日事件」は時の政権に仕組まれたものだと考えられており、この事件は民主党の二重構造を生み出してしまった(このとき民主党の代表からを追われたメガワティは後に現在の「闘争民主党」を結成し、大統領に就任する)。
 メガワティはスカルノ大統領の子どもというカリスマ性も相まって当時知名度が急上昇していたが、時の政権に対しも公然と批判を繰り返しており脅威となっていた。それだけでなく、7月27日事件の後、スハルト政権に逆らっているとみなされた民主活動家、学生たちがつぎつぎ行方不明になる事件が起きた。それ以降、スハルトに対する抵抗はますます強くなった。
 最初は大学の構内で起きていた運動は、1998年には大学の外でも起こるようになった。1998年3月10日にスハルトが国民協議会本会議の場で7期目の大統領再選を果たすと、学生たちは勇敢にデモンストレーションを繰り広げた。当初学生達は経済状況の改善を要求していたが、スハルトが再選すると、その要求は国家元首の交代へと変貌した。治安警察が学生の運動を鎮圧するために駆使した暴力は、残念なことにデモを悲劇に変えてしまった。コンパス誌によれば、1998年5月8日おきたジョグジャカルタでの学生運動は治安警察により弾圧され、サナタダルマ大学の学生、Moses Gatutkacaが鈍器で殴打され亡くなった。
 そして悲劇は再び起きる。1998年5月12日、治安警察が学生のデモを鎮圧するために発砲し、トリサクティ大学の学生4人が犠牲になった。ゴム弾発砲、実弾発砲、その他暴力で200人以上が怪我をした。その翌日、つまり1998年5月13から15日の間に、ジャルタとその他大都市で差別的な暴動が起きたている。今でも、この一連の暴動について責任の所在、全貌は明確になっていない。
こういった悲劇的な事件でさえ学生たちの動きを止めることはなかった。1998年5月18日、膨大な数の学生たちが国会議事堂を制圧した。この日、国民協議会のハルモコ議長がスハルト大統領に大統領の職を辞するよう要請した日であった。スハルトの地位はさらに危うくなった。
 スハルト側もこの動きに必死に抵抗していた。改革員会の設立や内閣の改造、総選挙などを目論み、アブドゥルマン・ワヒド、ヌルホリシュ・マジド等の有力者たちに協力を依頼していた。ところが、1998年5月19日にスハルトに面会した面々はそれ拒絶した。コンパス誌内で、ヌルホリシュ・マジドは、改革委員会のアイディアはスハルト大統領自身からうまれたものであると述べている。中央ジャカルタCendana通りの自宅でスハルトに面会した有力者たちの側からこの提案をしたものはいなかったとのことだ。
大統領との面会そのものを断った有力者もいた。例えば、ムハマディア(イスラム団体)中央指導部の長アミエン・ライス、同氏はいつ総選挙が行われるかが不透明である点を問題視していた。アミエン・ライスとその他の有力者たちは、「改革委員会」はスハルトが権力の座に居座るための時間稼ぎだと思っていた。
 経済、金融、産業担当調整大臣であるGinandjar Kartasasmitaを中心として、14の閣僚が改革委員会との協働、つまり内閣改造を拒絶し、スハルトはますます批判されるようになった。さらに、1998年5月20日に政府国家開発庁舎にて提出された質問書において、閣僚達はスハルトに対して暗に辞任を迫った。スハルトもすでに自身の力が弱まっていることを認識した。大統領の混乱は1998年5月20日(水曜)夜には頂点に達し、翌日1998年5月21日に辞任することを決意した。
スハルト強権の終焉はことのとおりである。 以上